Telaga Sastra QHI

menemukan yang tiada .aku ada dalam ketiadaan (Qur'anul Hidayat Idris)

Selamat datang di blog Qur'anul HIdayat Idris, silahkan nikmati apa yang ada

Labuh

sepangku rindu menggenang
di atas perahu kota
tertambat merunut musim
tak tentu, entah kapan
berlabuh
di rahim rumah


QHI

Di Luar Hujan Menderas


Maghrib belum tiba
engkau melihat berupa burung terkantuk-kantuk
di beberapa dahan
jalanan menjadi isyarat kota ini tak pernah selesai
merekam jejak naluri manusiabinatang
sadar dan tak pernah jaga
seperti dua rupa yang tabrakan di depan kaca

Maghrib belum tiba
benar,
tapi hujan telah menderas di luar
sekumpulan air mata jadi banjir di ruang tengah
dan kamar-kamar penciptaan
semua lepas tak terderas
merekam jejak kota yang tak pernah selesai
sadar dan tak pernah menjadi manusia
binatang.

Maghrib
belum benar
tiba
ketika burung itu jatuh
tertembak neraka kota.


Bengkalis, 07 September 2011
Qur'anul Hidayat Idris


sumber gambar: klik di sini

SELEPAS SIANG


selepas siang
di bekas kita duduk
aku tak mau malam
ini terjaga lagi
dan mengingat
elegi rumah yang ditinggali tuan
ironisasi ketuhanan yang menjadi taman
tersebab berjalan dengan mata
adalah terang
maka, setelah siang
apalagi yang kita harapkan
dari malam?
sesajak Layla yang tak menemu berita
'sudahkah kau sembayangi lelahku?'

selepas siang
aku rindu
kita berjalan kaki
menuju rumah senja
yang tak kita beri nama

duh,

Semarang, 10 Juni 2011
Qur'anul Hidayat Idris

sumber gambar : klik di sini

BOLA


bicaralah lantang
aku dengar
tiada kesadaran
tumbuh
di tujuh hari
hati

jangan habiskan lauk di belanga
sebentar kubisikkan sesuatu
shuutt
"........
?


QHI
Semarang, 19 Mei 2011

HALO


hai, namaku di punggungmu
kutulis kemaren subuh

maka,
hilang namaku


Semarang, 16 Mei 2011
QHI

sumber gambar: klik di sini

KAMIKAH KAU?


ini juang bung
perjuangan kami
membelah anak bulan
menjadi bukan bulan lagi, besok
akan ada purnama di kertas ratap kami
kapal-kapal yang kami rakit, akan segera tumbuh
seperti katamu kemarin "kami bukan lagi kau, buat apa semua api, jika kau tak terbakar!"
tapi ini juang bung
kami yang terbakar
bukan kau

maka, kau tak bisa samakan kami
dengan air atau api(mu)
ini jendela
terbuka untukmu


Semarang, 08 Mei 2011
Qur'anul Hidayat Idris

sumber gambar: klik di sini

Sepahat Cakap di Ujung Kampus

tak ada bulan terbit di mata capung
pagi ini, sayang
sebab aku telah berhenti
untuk membaca
yang tak tertulis
untuk kemudian
laju, menjemput matahari
esok

tak ada purnama lagi,
sebab kita tak lagi lahir
di dada daun
tapi sebenar tiada
ketiada

ah, sayang
aku nyungsep di retorika
kau dan sepasang merpati

Cari

lama
kau enggan menenggak
datang
tiada

lama

QHI

Terima (lah)

separut hujan, tumbuh
dalam cakap dan pengap ratap
ada maaf yang ingin kukirimkan
di hatimu

maka, aku bertafakur
tengah hujan siang ini
tak ada bunga yang berkibar

terima
lah
karena aku
telah
berucap
ucap
salah
terima
lah
karena
tak ada
bulan
yang
lebih besar
dari
padang matamu
terimalah

maaf


Qur'anul Hidayat
15 April 2011

*ditulis dengan tafakur

Mari; berdoa


tiap terdiri
gelimpangan abuk di kedua sisi
menuai padi-padi di lubang telinga
menjadi kenari
mari berharap kepada sang ratap
tanam yang jahanam
benam di sekam

padi tumbuh
dari tubuh
penuh


Semarang, 18 Maret 2011
Qur'anul Hidayat Idris

sumber gambar : klik di sini

Gadis di Ujung Dermaga


tampak dia dengan airmata, melawan ombak
surutlah sepancang harapan di kapal, jauh
meninggalkan seutas hati yang kian retas
baginya menunggu adalah tanda ketiadaan
peniadaan, bukan semata pertemuan
pelaut di rahimnya, tertinggal di dermaga
lalu kisah ia tuntaskan bersama ombak
menjadi airmata


Semarang, 11 Maret 2011
Qur'anul Hidayat Idris

M A L A M -xx-


pilihan ada pada setiap zaman
berwarna apakah remang?
atau menjadi terang?
percintaan waktu senja mengajarkan tentang kesetiaan,
hilang begitu lekas
prematur menjemput dahi malam
dengan ciuman janggal
memiliki yang tiada
ada aku karena tiada
hiduplah pada masa
tua biarkan tua
menjengah matahari esok pagi
melihat, taman di zaman
bulan yang baru
serupa permen di saku bocah tepi jalan
atau setengah tiangnya kini jadi semakin labuh
lari tak terlari
kita tak sempat menyapa silam
terbentur masa depan

kutulis yang tiada
karena aku berada ada


Semarang, 09 Maret 2011
Qur'anul Hidayat Idris

Nb: puisi malam istirahat sampai angka xx, mencari kontemplasinya.

sumber gambar : klik di sini

M A L A M -xix-


kupu-kupu hinggap di wajahmu
telaga redup itu
bak bunga, mengaroma rima
selalu ada cara menatap helai jemari di buku-buku
diam senyap di aliran darah
warna yang tak pernah punah
untuk selanjutnya kucatat
kutenun lalu,
kupu-kupu di wajah
berenanglah sesukamu
suatu waktu kau tetaplah aku
kembali beredar meski gelap datang,
membumi buku jemarimu

akan kujerat
di langit wajahmu
kupu-kupu yang juga kau


Semarang, 09 Maret 2011
Qur'anul Hidayat Idris


sumber gambar : klik di sini

M A L A M -xviii-


mari kujerat warna dalam sayapmu
hitam di tiap kau mendelik
beterbangan mencari sepasar manis kehidupan
kita tak bersua dalam waktu lama
aku meriuh hinggap pada akar perindu
kembali dengan sepasang luka
di mataku kau tetaplah warna
hitam yang merah yang biru yang hijau
kuning
sayapmu tetap angin dari sauh penantian
melambaiku dari jauh
kita tak bertemu dalam waktu lama
kusimpan di langit-langit kamar
kita yang berada di puncak kenaifan
cinta itu buta kata orang
namun bukankah hatiku lebih terang?
melihatmu walau tak terlihat
merasaimu walau tak terasa
menjagamu walau tak terjaga

kujerat warna dalam kaca
kumasukkan dalam sangkar
ia memanggilku padamu
yang terbang meninggali padam
hitammu yang bening
menatap mataku yang semakin tak bermata

apa masih cinta itu buta.
atau aku yang membuta?


Semarang, 07 Maret 2011
Qur'anul Hidayat Idris

sumber gambar : klikdi sini


M A L A M -xvii-


angin menerjemahi gundah
selinap lesap dilinangan harap
tubuh penantianku rubuh di dus penolakan
terbuang beserta malam

angin berhembus pelan sekali
mengabutkan wajahku di kaca

aku terbuang dari ceruk matamu
yang rekat di simpang jemari
pengikatan


Semarang, 07 Maret 2011
Qur'anul Hidayat Idris

sumber gambar : klik di sini

M A L A M -xvi-


kau yang berwarna jingga
menemui jantungku yang haru
mengelebat dendam kusam
setanah langit menyirat pucat
adalah pukat di mulutmu
fona yang tak henti
menghantukku pada persaksian
keindahan langgam silam

beranjak
melupakan rentak marwas
dentang gambus
di rumah persaksian
aku telah lupa dengan segala umur
pergi ke dasar ketiadaan
menatap buku harian
perlincakan di dulang kehidupan

melupakan tarian 
gemulai dan pukau
anak-anak pertunjukan
aku meninggalkan kelana
dalam ketika malam
menghapus ketiadaan ragam


Semarang, 07 Maret 2011
Qur'anul Hidayat Idris

sumber gambar : klik di sini

M A L A M -xv-


kupahat kertas di atas meja, semata ingin tahu berapa anak bulan muncul
kuletakkan beberapa piring kegundahan di sebelah kanan
dan secawan kerinduan sebelah kiri
karena secara tiba-tiba bulan menghilang
malamku jadi benar gelap

aku terbiasa tidur dengan bulan-bulan kecil di dalam kertas
pergi menyauh atau memancing ikan di belakang rumah
kalau malam kubiarkan ia bermain ke langit kamar
sebagai bulan sebenarnya
aku nyenyak menemui berjuta anomali kehidupanku
berbelok

belok
bulan itu dari kertas di atas meja
kudapat ketika asyik memahat jejak bersama seorang wanita
Lin namanya
lalu bulan-bulan lain secara tiba muncul
dari puluhan anomali yang lain
berbelok

dan kini ketika aku kehilangan nama itu
bulan menjadi bulan
masuk kembali ke peraduan
aku kehilangan
puluhan anomali lain
kehidupan
berbelok




Semarang, 05 Maret 2011
Qur'anul Hidayat Idris

sumber gambar : klik di sini

M A L A M -xiv-


hitam matamu kurendam dalam tilam lalu sama-sama kita jadi angsa di pucuk pacak sungai, menjadi tubuh silam yang tak tercatat dalam buku sejarah. percintaan kita berlangsung dari malam ke malam, dari hitam ke hitam dari perendaman ke ratusan tilam.kita tak bisa bercerita kepada anak cucu tentang malam yang dulunya begitu hitam sepekat kopi tarak, sekarang yang mereka lihat tak ubah siang yang bernama malam.

hanya pada bekas masa silam akan hitam matamu yang kurendam dalam tilam aku mengingat bahwa malam tetaplah malam dalam talam darah, kau telah pula menjadi angsa penghuni sungai, remah di tengah kepucatan air hujan. aku tak mau mati, ingin mengatakan bahwa kita pernah ada.

"anak cucu kita semakin buta
tak nampak masa silam yang sisa
"




Semarang, 05 Maret 2011
Qur'anul Hidayat Idris

sumber gambar : klikdi sini

M A L A M -xiii-


aku berlari ke hutan melalui sungai melompati batu menjelajahi rawa teluk bahkan pesisir, matahari setengah tiang telah menggantung utuh pada juga setengah tubuhku, aku kini hanya memiliki perut dan kaki. kucari laut dalam kota tapi telah dilipat menjadi kertas poster di rumah-rumah, kucari di desa telah pula kering airnya. aku berlari ke hutan melalui alir alur kesunyian dan kekecewaan. telah binasa entah yang kau miliki di peti penyimpanan kemaluan, aku tersedak ketika melihat hutan tinggal jejak sepatu boots berukuran besar dan tangisan akar yang kehilangan batang. aku terus berlari memabawa matahari setengah tiang yang telah merenggut cinta seorang wanita, betapa kita memuja keindahan sampai ingin memasukkannya ke dalam dompet atau melelangnya dengan harga selangit.

kita menuju binasa, mereka tanya pada bintang jatuh lalu membuat permohonan, setelahnya kita sibuk bercinta dengan dogma dan mengalibikan idealisme. kucari terus yang tak kau cari, ku cari sampai ketemu apa yang tak ingin kau temui, kucari hutan lautan ikan-ikan kera-kera yang telah menempel di wajahmu, kau berubah menjadi apa yang kau makan, hei dimana kau menyimpan kotak berisi kemaluan?

aku hanya tinggal perut dan kaki, mengisi dan melangkah untuk tetap berdiri.


Semarang, 04 Maret 2011
Qur'anul Hidayat Idris

sumber gambar : klik di sini

M A L A M -xii-


setelah senja itu pindah ke rusuk mataku kau jadi begitu sering memandangku, mengajakku meniti areal kerinduan lalu berlarian di padang yang hanya kita berdua di sana. saban hari aku tersenyum karena kini tidaklah menjadi hal yang langka kita bersitatap dan bertukar pikiran hanya lewat senyum dan mengedipkan mata. kau juga sering datang ke rumah, membelikan kamarku tirai yang lebih bagus dan lebih tebal, katamu biar sewaktu malam matahari yang menggantung di separuh terbenam itu tidak membuat orang-orang di luar sana merasa aneh.

hari-hari di kamarku selalu gerah dan lembab, aku tak dapat merasakan lagi embun yang dulu sering kutasbihkan sebagai anak-anak malam. aku mulai kehilangan tubuhku, karena kini tidak lagi mataku yang memancarkan cahaya matahari setengah tiang itu, tapi juga kepala dan wajahku.

aku malu ketika kau mengetuk pintu pagi-pagi, tak seperti biasanya, aku tdak membukakanmu pintu kamar, kau menggedor semakin keras. aku selalu gagal menyembunyikan sesuatu padamu, kubukakan pintu kamar selebar aku membuka pintu hatiku.

demi yang tak tersentuh hingga yang hinggap pada lumbung perasaan kulihat kau melonjak-lonjak seperti bocah baru dibelikan sepeda. 
kau lebih memilih matahari setengah tiang itu daripada aku Lin?
kau mengangguk cepat

jika seperti itu adanya, keluarlah cepat dari hatiku, kan kukembalikan matahari ini ke lautan!


Semarang, 04 Maret 2011
Qur'anul Hidayat Idris

sumber gambar : klik di sini

M A L A M -xi-


kubuka potret dengan sebuah buku puisi di atas kepalamu, hari itu hujan terlalu deras sampai kehatimu, kau berlari menuju rumah pasir buatanku yang kau sebut terlalu rapuh untuk berteduh, tapi keyakinanku benar, kau berteduh juga di dalamnya. Sebuah jendela membuatmu tahu aku sedang mengintip dari luar, tanpa payung. beberapa detik kau diam sampai gigiku beradu tanding dengan dingin.

"masuklah kau Hujan!"
"aku terlalu kuyup"
"ini rumahmu, ya. Aku berteduh disini"
"aku akan menghancurkannya kalau aku masuk ke dalam!"

kau ingat buku puisi itu telah kena Hujan, gambar sampulnya yang cuma berwarna hitam dengan sebuah payung berwarna merah dengan rembulan kopak dilangit, kau membaca nama buku itu dalam hatimu "Antologi Puisi: Malam dan Rembulan Berhujan". itu adalah bukuku yang barusan kuberikan karena secara tiba-tiba kita bertemu lagi Lin, dalam ruang hampa mata puisi yang terserak dideretan halaman. lalu kau membaca sebuah puisiku pelan, sangat pelan, tapi kau pasti tahu aku di luar mendengarmu.

Lin


(i)
sepanjang jarak kereta
kupotret wajahmu yang laju
membaca nama bertanda petik
:seperti namaku


(ii)
kubang aku
retorik hujan dan malam membentuk tanda baca dalam rahim matamu
aku kalah
tersebab itu cahaya
telah pula pulang
awang

(iii)
sepasang angsa menari
keluar dari mulutku
kucing
bari
kelembak
bertikam tikai dalam darah
senyapku mati
.
kenapa tak kau saja?
atau dia yang kau jawab ya


(iv)
aku kalah
tersebab itu cahaya
telah pula tumbang
dipinggiran jendela kereta
kubuang


(v)
kini
sepasang kerang
keluar dari jari-jariku

hujan di luar telah berhenti, kau lama terdiam, lalu tiba-tiba lewat celah jendela kau sodorkan aku sebuah kertas dari sobekan buku puisiku

Hujan

cepat!
hentikan hujan di mataku
dan belikan aku sebuah payung
biar puisimu tak lagi basah

Lin


Semarang, 04 Maret 2011
Qur'anul Hidayat Idris

NB: puisi ini adalah puisi kolaborasi antar-puisiku, bila ingin membaca puisi Lin pada posting pertama kali di fb, klik di sini. lalu puisiku adalah gambaran cita-citaku ke depan, menerbitkan sebuah antologi puisi Malam dan Rembulan Berhujan, mohon doa dan apresiasi kawan-kawan dan bila ada yang penerbit yang ingin menerbitkan, saya akan sangat senang sekali. Salam Sastra.

sumber gambar : klik di sini

M A L A M -x-


tapak kaki kita berjarak setengah inci dari perdupaan senja, di Tanah Lot itu kau mengadu padaku lewat sebuah komposisi kelebat benamnya matahari dan siluet tubuhmu.

"dua minggu kemaren aku telah melihat matahari terbenam, indah sekali. semoga bisa kulihat lagi ia!" kita tapakkan lagi jejak di lumut-lumut dan aku memandang kau yang memandang cahaya redup

kau mengerti sepuluh menit lagi keindahan akan lengkap dimatamu, matahari menyuruk di dasar lautan dengan gemulai dan santun, meninggalkan bercak pada langit. saking takzim kau menunggu, aku jadi diam dan berdiri tepat disamping kananmu.

amboi, kenapa pula kau kelihatan resah?

"kenapa matahari itu berhenti dan urung meniduri lautan?" aku yanng sibuk dengan alibi perasaan kaget mendengar ucapanmu, entah karena kau telah benar-benar resah, wajah lembutmu kau palingkan padaku, kali pertama sejak kita menginjak lumut-lumut.

"sejak kapan kau pindahkan matahari tenggelam itu ke matamu, Lin?"


Semarang, 03 Maret 2011
Qur'anul Hidayat Idris

sumber gambar : klik di sini

M A L A M -ix-


apabila telah selarut ini, sembari menunggu aku datang kau menjadi kopi di sebelah tempat tidurku. tak pernah aku tahu kapan kau pergi ke dapur dari jalanan penuh lampu, membuka jas hujanmu lalu mengambil gelas, sendok dan gula. perlahan sekali kau mengaduk campuran air panas dan dua setengah sendok kopi itu. ah, kau selalu menaruh gula diakhir-akhir, aku tak pernah tahu alasannya. kopi yang masih berputar oleh adukan lembut itu tak pernah kau rasai lagi karena itulah seleraku, tak ada kopi lain yang lebih kusuka dari buatanmu, juga aku tak pernah tahu alasannya.

kau terbiasa dengan lampu kamar kita yang gelap, sudah kau hapal jalan menuju meja sebelah tempat tidurku. sejenak kau memandangku dan memberikan sebuah kecupan sehangat kopi yang telah bercampur sedikit dingin malam. lalu kau tak pernah tidur.

"besok, ketika aku terbangun kopi itu masih sehangat dan tetap berputar
lalu aku bercermin dan mendapati bentuk gincu merah dari bibirmu
kau tak pernah kujumpai lagi"






Semarang, 02 Maret 2011
Qur'anul Hidayat Idris

sumber gambar : klik di sini

M A L A M -viii-


keluarlah dari daun jendela meminum bergelas-gelas lupa, dalam rumah yang bisu ini, bising adalah kayu bakar penghangat paling dingin. telah lama kau ingin memasung do'a-do'a yang tak pernah sampai ke pemiliknya, dalam lembaran suratmu yang menjadi riwayat, kau berkata tapi tak ada yang mendengar kau menjerit tapi tak ada yang menoleh. rumah jadi buku kelam yang dalam bagimu, setidaknya dengan melihat warna malam kau bakal tahu bahwa warna tak hanya cokelat gorden, putih dinding, oranye rak, dan warna-warni mentereng jas yang tak ingin kau kenakan.

keluarlah dari daun jendela meminum bergelas-gelas euforia, kau punya rumah di dadamu, hanya saja kau hanya tahu satu rumah yang sudah jadi tempat serapah menumpang tinggal. kini marilah ku tuntun menuju malam, kau belum tahu warnanya bukan?

11.49
tak usah pedulikan jam, kita pulang sebelum rumah itu terbakar hangus menjadi sketsa. sudah kau bawa surat-suratmu itu? cepatlah ambil tirakat di meja bundar rembulan, bersama kita kutip kembali do'a yang terbenam di tanah kelahiranmu, lalu mulai kita bangun gubuk dalam sebenar rumah.



Semarang, 01 Maret 2010
Qur'anul Hidayat Idris

M A L A M -vi-


berapa harga sebakul kerinduan yang tak sempat kutawar padamu
apakah semata penjemputan epilog tahunan?
dipinggiran semak
kita menahan rasa sakit, bukan
debu-debu dari pinggiran kota
beterbangan sampai desa
mati sesuatu yang perlahan
sebab rindu yang menggantung diujung jemari
telah diatasnamakan kerinduan yang lain
kita keburu mati
sebelum sempat mengumpat
memaki angka diatas lemari

lampu kota menyala
kita pun sibuk mengaca
membawa berkas kucel yang tak pernah dibaca
apalagi diterima
lalu berharap tanah lapang
disana sebuah sumur berisi doa
tumpah
hanya itu yang kita bisa

lalu, kemana sebakul kerinduan?
pulang ah pulang
sebelum malam datang kita telah patah
menjadi sesaji makan para penolakan
kita tertipu oleh angka
yang menjadi pisau petaka



Semarang, 27 Februari 2011
Qur'anul Hidayat Idris

M A L A M -v-


menjelahi rongga aksara
membaca rintik di jalanan macet
menuntun hinggapnya lebah
menunjuk gelap dalam terang
membawa tas-tas berisi dokumen kegelapan
melempar amuk dalam tungku perapian
memuai
               memuai
                                menua

malam telah berlalu
disaku yang basah tak kau temukan lagi rembulan
kita terjaga dari mimpi dan menemukan kenyataan
hidup kembali koreng
terhantuk pagar-pagar kepentingan
menua
               menua

Semarang, 27 Februari 2011
Qur'anul Hidayat Idris

sumber gambar: google

M A L A M -iv-


embun bertaburan mencari dahan
angin mencampakkannya ke lautan
menjadi laut bagian dari laut
asin tubuhnya
menelimpuh meminta arah
embun tersedak
ia bukanlah punai atau kenari
bisa mereka langit
meminta malam berarak mengejar
ia hanyalah tetesan
airmata langit
dan malam telah mencampakkannya
membuangnya tanpa arah
oh, ia tak bisa berenang
tersebab tenggiri dan todak telah beristana
dan membangun pusara
ia tergugu
malu

embun mati perlahan
menjadi fosil malam
dikonstruksi perlahan
anak lautan

embun tak sempat menuju dahan



Semarang, 27 Februari 2011
Qur'anul Hidayat Idris 

M A L A M -iii-


bocah itu mengigau tentang bulan menggantung dikantung celananya
penggganti permen yang jatuh ke longkang tadi pagi
ia terjerit
memekik sebakul galau
padahal kini bulan belum sepenuh sembuh
koreng dimakan usia
ah, ia terus mengigau
sampai terdengar mantra ganjil
mulut kecil itu menasbih ratap
tak berbaju dipinggiran jalan

"lam alif lam mim"

mulut kecil itu mengucap ratap
kepada tuhan yang belum ia kenali

"lam mim"

ia mendapati bulan menggantung di sakunya
bertangkai
serupa permen yang tak sempat ia nikmati manisnya



Semarang, 26 Februari 2011
Qur'anul Hidayat Idris

M A L A M -ii-









kereta pun berangkat
menjemput malam di gerbong-gerbong
tak ada lagi senja
langit telah luka
laut menangisi diri
tertimbun lumpur perih
kemana kita mencari patut
telah pula menjadi permainan catur di meja adidaya

"tak usah kita bersedih
mari kita adakan pesta
atas nama kematian malam"

gerbong membawa kereta melaju 
menuju bulan-bulan baru
yang tampak lebam di buku cerita masa lalu
anak-anak kita hanya menggambar wajahnya sendiri
lalu diinjak
kaki-kaki kehidupan

menyerah?
menyerah

"mari kita belajar menuntun kereta, nak
menuju bulan-bulan baru itu"


Semarang, 26 Februari 2011
Qur'anul Hidayat Idris 

M A L A M -i-


aku menengadah
sebutir cahaya dari kacamatamu jatuh ke lantai
berlari menuju kepak-kepak jendela
-kaca ditubuhmu
menjadi kata

lalu aku berkaca
menjadi malam

aku menanam binasa di tubuhku
di puncak jendela
aku melompat
mengejar tubuh dalam rahim cahayamu

lalu aku berkaca
yang kulihat hanya malam

sebutir cahaya kembali ke kacamatamu
:diam


Semarang, 26 Februari 2011
Qur'anul Hidayat Idris

Pasir di Dasimu, Tuan

(i)
sini kulap
tangkai bisu yang kau idamkan
atau kau lupa carut marut di kota-kota, pasar, pinggiran jalan dan tepian sungai
mencaci pelacur
barusan kau tiduri
Tuan, apa lagi yang kau inginkan
aku punya badan
mau kau telan?

(ii)
sajak basi di kakimu
hikayat menipu
gurindam beku

apa yang kami punya selain kata
Oo, kau juga ingin kata-kata kami?
menulisnya dalam buku-buku
mengatasnamakan Tuhannya dirimu sendiri

kami lupa aksara
tersebab kau curi, Tuan!

(ii)
sini kulap
pasir di dasimu
nanti kau terlihat kumuh
kan kami bangga punya seorang pemimpin borju
ah, itu ada sebutir lagi
:di lidahmu tuan
ludah saja aku
pasti itu akan masuk berita di koran
sebab kau cukup terkenal, Tuan

(ii)
sudah bersih.
Tuan
silahkan kembali ke mobil.




Semarang, 26 Februari 2011
Qur'anul Hidayat Idris

(fragmen) Menanti Matahari


Menanti Matahari : Fragmen 1

Di danau jemarimu
Matahari selalu hinggap
Menawarkan kilas pantulan
Air sejernih mata
Melabuh ditaman hatiku
Itulah yang kulihat
Tapi tak kumengerti
Kau mengapit selendang kuat
Sela telunjuk dan manis
Berkait paut dalam jerit tubuh

Danau itu saban mendawaikan aku
Padamu
Hanya kunantikan
kau mainkan beberapa gelombang
lalu memutih langit keruh
memercik rindu di bajuku

di danau jemarimu
aku tak sempat singgah
atau mengganggu beningnya
biarlah matahari
menjadi pengindah lakumu


Tameran, 210810
07.06
Qur’anul Hidayat



Menanti Matahari : Fragmen 2

Kita alami masa pancaroba


Musim yang terlambat mengambil kereta
Angin memukim di ceruk dahaga
Lalu panas berpayung dekat kepala

Kita alami masa pancaroba
Anak kecil yang hilang kebocahannya
Lalu kehidupan glamor dimana-mana
Mewarisi paham kemewahan
Ironisme pahit semata tontonan

Kita alami masa pancaroba
Kesenangan bukan lagi jalan
Tapi kerap merupa buntu
Manusia duniawi menjadi Tuhan
Lalu terserang sakit kepala batu

Ingin kurupa dunia di danau jemarimu
Saat hujan mendatangi payau
Gelombang mengantar tikar
Bersama membias sukar

Kita menanti matahari
Yang tegak berdiri
Bukan karena angkuh meniduri hati
Tapi ketepatan hakiki
Dalam menjumpai esok pagi




Tameran, 210810
07.25
Qur’anul Hidayat Idris



Menanti Matahari : Fragmen 3

Di sudut tercelah
Sekam menilam tikam
hati pemimpi yang hilang jeruji
Terpajang wajahwajah tunduk
Hampir mati

Bayibayi lahir
mengecambah
Dari rahim keangkuhan
Sekedar membebat berita kopi pagi
Berakhir pembuangan
Dari talam bumi

Kita pandai memberi harapan
Namun tak belajar cara membagi jalan



Tameran, 220810
02.24 dh
Qur’anul Hidayat Idris
Your pictures and fotos in a slideshow on MySpace, eBay, Facebook or your website!view all pictures of this slideshow